BLOGGER TEMPLATES - TWITTER BACKGROUNDS

Minggu, 10 Mei 2009

Sang Pemberi dan Pemberian


Saya jadi terusik untuk menulis masalah yang agak pelik ini gara-gara ngebaca blognya pak Teguh Sexy sing judule rejeki. Masing-masing hamba berbeda-beda dalam memaknai apa itu rejeki, tergantung ilmu, pengalaman pribadi, dan hidayah yang diberikan oleh Gusti Allah kepada hamba-hambanya. Pendeknya bahwa kita mesti sepakat bahwa rejeki itu adalah pemberian.


Berbicara pemberian, maka ada yang diberi dan yang memberikan. Yang memberi adalah Tuhan dan yang diberi adalah hamba. Ada orang yang mengganggap bahwa rejeki itu adalah jering payah, atau hasil usaha, atau ikhtiar hamba. Padahal esensinya rejeki adalah pemberian. Ada crita orang Jepang yang mengandalkan akalnya menegur kepada anak buahnya, kamu ya…kalau sembayang tepat waktu, tapi giliran kerja tidak bisa tepat waktu, memangnya yang menggaji kamu itu Tuhanmu, itu adalah usahamu, jadi kalau kamu rajin kamu naik pangkat, naik gaji dan sebagainya dan sebagainya, sepertinya masuk akal kan……bahwa rejeki itu sepertinya jerih payah atau ikhtiar kita, memang ujudnya adalah ikhtiar tapi esensinya adalah pemberian atau jatah dari Yang Maha Kuasa.


Kalau rejeki itu adalah ikhtiar, atau jerih payah, coba kita ajukan pertanyaan berikut ini : kenapa ada orang yang sama-sama berikhtiar kok hasil akhirnya berbeda. Kalau majunya perusahaan adalah karena pintar dan rajinya karyawan yang dibanggakan orang Jepang itu, kenapa ada perusahaan-perusahaan Jepang yang bangkrut? Ya…….karena memang rejeki itu sudah diatur…..kita dijalankan oleh Yang Maha Kuasa sesuai dengan takdir yang sudah ditentukanNya, profesi kita, pendapatan kita, pengeluaran yang mesti kita tanggung, dan lain-lain sudah diatur.


Kebanyakan dari kita lebih senang melihat ujud pemberian itu sendiri atau kita lebih suka kepada rejeki itu, bukan kepada yang memberi rejeki itu yaitu Yang Maha Memberi. Coba kita pakai akal batin kita andaikata Sang Pemberi itu adalah istri atau suami kita (tentu Tuhan tidak sama dengan makhluk) yang paling kita cintai, mana yang lebih kita pilih pemberiannya atau istri/suami kita. Apakah kita rela bila suami/istri kita sudah memberi sesuatu pada kita lalu suami/istri kita tidak pulang ke rumah kita? Tentu kita memelih suami/istri kita sebagai pribadinya. Memang kalau bisa ya…pemberiannya ya…orangnya.


Bagaimana bila kita membelikan anak kita sepeda, agar dia tambah rajin belajar, tambah rajin sholat, tambah taat pada orang tuanya, sementara si anak malah sibuk dengan sepedanya, lupa belajar, lupa sholat, jika disuruh membangkang, tentu kita akan marah. Dan Tuhan pasti lebih marah dapi pada hambanya, karena Tuhan itu Maha Kuasa, Maha Perkasa.


Salah satu kiat untuk tahan menghadapi cobaan hidup, himpitan hidup, kacaunya suasan, carut marutnya system perekonomian, amburadulnya keadaan sekarang ini adalah kita mesti memandang siapa yang memberi cobaan, bukan cobaan itu sendiri. Walaupun ujud pemberianNya kurang baik, tapi yang memberikan adalah yang paling kita cintai, maka akan terasa ringan cobaan itu. Dan semua cobaan ada hikmahnya, tapi kadang kita tidak bisa melihat hikmah dibalik cobaan.


Itulah inti sari dari buku Mengapa harus berserah, karangan Ibn Athaillah, kita mesti menggunakan mata hati, bukan akal kita yang sebenarnya kemampuan akal kita sangat terbatas, sedangkan kemampuan hati nurani tanpa batas…….wasalam

0 komentar: