BLOGGER TEMPLATES - TWITTER BACKGROUNDS

Selasa, 09 Juni 2009

OJO DUMEH......


Masih ingatkah saudara dengan apa makna ungkapan ini? Saya kira hampir semua orang mengetahui apa makna ungkapan ini, karena kata ini bukan saja menjadi milik orang jawa, tapi rekan-rekan yang dari luar jawapun fasih dan faham akan makna ungkapan ini, bahkan saya punya satu orang Jepang yang sangat menyukai ungkapan ini, dia sering mengucapkannya dan setiap dia mengucapkan selalu bibirnya tersenyum tanda dia sangat respek dengan ungkapan ini.

Dalam bahasa “gaul” ungkapan ini bermakna jangan sok, jangan mentang-mentang, dan sebagainya. Ungkapan ini biasa diikuti dengan sifat-sifat kemakmuran atau ketinggian sesuatu, atau bermacam-macam kesenangan dunia, missal ojodumeh sugih bondo, ojodumeh pinter, ojodumeh ayu atau bagus dan sebagainya, yang maksudnya adalah kita tidak boleh mengandalkan kelebihan kita dan menganggap orang lain lebih rendah disbanding kita?

Pelajaran yang dapat kita ambil dari ungkapan ini adalah bahwa kita mesti menganggap orang lain setara atau syukur-syukur bahwa orang lain itu lebih tinggi dibandingkan kita, inilah ajaran nenek moyang kita yang sangat monumental yang apabila kita teladani maka negara kita Indonesian ini akan damai, guyup rukun dan tentram. Waktu saya masih kecil tulisan ini ada dimana-mana, didinding-dinding rumah penduduk (ditulis sebagai hiasan dinding), digerobak-gerobak yang ditarik sapi, dibecak-becak, pokoknya dengan gampang kita menemukan ungkapan ini.

Berikut ini saya selipkan kisah “sufistik” yang mungkin gathuk dengan judul tulisan ini. Kisah ini saya peroleh dari ayahandaku (H. Moh. Takrip) yang senantiasa ndongeng setiap waktu menjelang tidur, wah….saya jadi bernostalgia jadinya, saya masih ingat betul cerita ini karena saya sangat terkesan dan saya akan ingat sampai kapanpun.

Al-kisah ada seorang perampok ulung yang ingin menitipkan anaknya disebuah pondok pesantren, walaupun dia seorang rampok, tetapi dia tidak ingin anaknya yang semata wayang juga menjadi perampok. Itulah naluri seorang ayah! Pasti semua ayah ingin anak-anaknya sukses hidupnya baik didunia maupun diakherat kelak. Suatu hari sang “perampok” itu sowan pada pak Kyai, Nuwun sewu pak Kyai, kulo sowan mriki sepindah bade silaturohim kalih pak Kyai, kaping kalihipun bade tuwi kasugenganipun pak Kyai sak keluarganipun lan kaping tiganipun kulo bade nderek titip anak lanang kulo supados ngaos wonten pondokipun pak Kyai mriki (walaupun dia perampok ulung jaman dulu, dia fasih bahasa jawa krama). Pak Kyai agak tersentak dan terdiam sejenak dalam hati beliau bergumam “aneh ya…ada perampok kok mau mondokkan anaknya, apa nggak salah dia? Lamunan pak Kyai dibuyarkan oleh pertanyaan sang perampok itu, kados pundi pak Kyai saget menopo mboten? Sambil kaget pak Kyai menjawab yo….yo….tak tompo anakmu mondok neng kene! Saking senangnya sang rampok memeluk pak Kyai sambil berucap matur nuwun pak Kyai….matur nuwun pak Kyai…..

Itulah adegan waktu pertama kali sang perampok menitipkan anaknya dipondok pesantren. Hari berganti hari dan bulanpun berganti bulan waktu terus berlalu, sang anak perampok itupun diajar dipondok pesantren itu layaknya anak-anak yang lain, tidak ada hal yang aneh pada anak perampok tersebut, malah dia termasuk anak yang berbakat, akhlaknyapun bagus, ya…semua baik-baik saja. Sampai pada suatu hari pak Kyai mau mengajak semua santri untuk menunaikan ibadah haji ke tanah suci Mekah.

Untuk menguji kejujuran dan sesungguhan para santri pak Kyai menguji para santrinya, tak luput sang anak perampokpun diujinya. Pak kyai menyuruh “mbakar” beton (biji buah nangka yang sudah masak) sebanyak 10 biji, dia panggil sang santri “le…..bakaren beton 10 iki, mengko nek wis mateng gawanen mrene! Itulah ujian yang diberikan pak Kyai kepada sang santri anak perampok itu.

Ya…..apes, tembung ndilalah kersane Allah, diluar dugaan sang santri ini beton yang 10 biji ini tinggal 9 biji, diapun bingung setengah mati, dicarinya beton yang satu itu kemana saja akan tetapi tidak ketemu. Diapun pasrah…..dengan lunglai dan kurang bersemangat, dengan perasaan takut diapun menghadap pada pak Kyai, ngapunten pak Kyai betonipun kantun 9 pak Kyai, sak-estu kulo mboten nedo…pak Kyai, beton niku ical karepe piyambak, ngapunten pak Kyai……

Dalam hati pak Kyai oh…dasar anak maling, ya…..maling baeeen! Singkat cerita, maka tiba saatnya para santri berangkat ke Mekah untuk pergi haji, tetapi si anak rampok ini “ditilapne” atau sengaja tidak diajak, mengetahui bahwa dirinya tidak diajak si santri ini pasrah, tetapi diapun ingin sekali berangkat ke Mekah dan ke makam Rosululloh SAW, itulah yang cita-cita yang sudah lama dia impikan dan apa yang terjadi saudara?
Si santri ini nekat, sendirian dia berangkat ke pelabuahan dan dia bikin rakit dari batang pohon pisang, setelah jadi rakit itu dia ceburkan ke laut dan diapun naik keatas rakit tersebut sambil berdoa “beton sepuluh dibakar, ilang siji gari songo” doa ini dia baca berulang-ulang dengan rintihan yang dalam sambil memohon keadilan kepada Tuhan Yang Maha Pengasih, dan apa hasilnya? Dia lebih dulu sampai di Mekah! Dibandingkan rombongan pak Kyai dengan santri-santri yang lain. Mengetahui hal ini pak Kyai segera minta maaf pada santrinya ini, ternyata santrinya ini tidak salah sama sekali….

Kejujuran dan tekad yang membaja adalah kuncinya, maka mari kita tanamkan kejujuran dalam diri kita karena kejujuran adalah salah satu bentuk investasi jangka panjang yang sewaktu-waktu diperlukan kita dapat memetiknya. Jangan percaya slogan “jujur-ajur” karena itu menjerumuskan. Memandang orang lain setara dengan kita walaupun dari golongan apapun dan dari keturunan apapun, membuat hidup ini ringan tanpa beban. Semoga bermanfaat, wasalam.

3 komentar:

singo mengatakan...

Setuju saudaraku, aku mendengar istilah ' ojo dumeh ' ini dari pak Harto,presiden kita ke 2 yang sudah almarhum, tapi ada atau tidak korelelasinya kata itu dengan kepribadian pak Harto, aku kurang tau. Yang sedikit saya tau, ojo dumeh, pada akhirnya akan bermuara pada prinsip persamaan hak, persamaan drajat, yang jika prinsip itu dianut oleh semua orang, semua bangsa, semua golongan, semua negara, pasti akan tercipta tatanan kehidupan yang damai. Permasalahannya, untuk sampai pada tingkat "persamaan hak, persamaan drajat" dibutuhkan pemahaman yang tidak mudah pada diri seorang manusia, sehingga dibutuhkan methode untuk kearah sana, maka pendekatan sufistik tentang hakekat manusia dapat dipergunakan untuk menuju ke arah sana......lanjut nanti..

Suroso Bin Haji Moh Takrip mengatakan...

Sejatinya kalau kita mau memahami dan "nglakoni" beberapa falsafah nenek moyang kita, kita tidak akan "kedlurung-dlurung" seperti ini, tatanan gak rusak oleh keserakahan manusia, tetapi waktu berbenah masih ada....kalau bukan dari kita siapa lagi?...

singo mengatakan...

Nenek moyangku orang pelaut....